Apakah perlu ada peraih Nobel dari Indonesia?

Saya masih ingat salah satu (dari banyak) slogan Pak Yohanes Surya yaitu “Nobel untuk Indonesia”. Menggugah hati kan ya? Apakah ada sampai saat ini? Ya belum. Dulu hampir, saat penyanyi sekaligus presiden dicalonkan / masuk nominasi nobel perdamaian.

Memang kenapa si segitu berharganya hadiah tersebut? Ya secara singkatnya, hadian tersebut adalah penghargaan tertinggi yang bisa didapat dalam bidangnya masing-masing. Misal, seorang fisikawan mendapatkan hadiah nobel fisika, ya artinya dia sudah sukses lebih dari sekedar dapat tenur, dapat grant, diakui sesama peneliti, menjadi otoritas, dan akhirnya mendapatkan hadiah nobel.

Setelah dapat nobel memang mau apa? Apakah lalu pensiun dini? Ya sayangnya yang mendapatkan hadiah nobel dalam bidang sains biasanya memang sudah tua atau sudah pensiun duluan baru karyanya diakui layak mendapatkan hadiah Nobel. Atau, ya biasanya orang tersebut hanya akan lanjut saja melakukan kegiatan meneliti/mengajar dia tanpa tiba-tiba berubah menjadi super-saiyan atau apalah seperti di anime-anime. Kan, tidak tiba-tiba dia jadi OP di universitasnya juga. Semua biasa saja. Saya masih ingat ketika Kosterlitz diberitahu kalau dia dapat hadiah nobel, dia sedang ada di parkiran mobil. Ya artinya, peraih nobel biasanya tidak menunjukkan bahwa dia kepingin banget dapat hadiah itu, apalagi pakai embel-embel “buat negara”.

Lho memangnya salah mau bilang dapat hadiah nobel buat negara? Ya tidak juga. Apalagi kalau tahu bahwa hampir 25% penerima hadiah nobel adalah orang yahudi. Apa itu artinya? Anda renungkan sendiri saja. Hanya saja saya mau luruskan bahwa memenangkan hadiah nobel tersebut lebih ke penghargaan individu dan tidak serta-merta menyeret nama organisasi. Berapa banyak dari peraih nobel saat ini yang memang melakukan penelitiannya di tempat dia bekerja sekarang? Menurut saya sedikit sekali kecuali yang memang setia sama almamaternya sejak kuliah sampai profesor. Alhasil, jika suatu saat institusi di Indonesia mempunyai pekerja yang meraih nobel, maka apakah adil jika institusi tersebut merayakan dengan klaim prestis tersebut ke institusinya? Saya rasa iya jika memang ground-breaking work nya dikerjakan di tempat itu dengan murni tunjangan dari organisasi itu. Jika tidak? Ya rayakan saja selayaknya merayakan kemenangan seorang murid sekolah dalam e-sport (jika tidak ada ekstrakurikuler e-sport di sekolah tersebut).

Tapi sayangnya, kadang suatu sekolah suka dipersamakan prestasinya dengan prestasi anak didiknya yang meraih medali olimpiade. Jika anak meraih medali olimpiade fisika, bukan berarti anak tersebut dididik fisika di sekolah itu juga kan? Ya ok awalnya mungkin disitu, tapi setelah masuk karantina kan sudah bukan urusan sekolah itu lagi. Sekolah itu hanya menjadi seperti rumah saja, tapi seluruh kegiatan pertandingan dan pelatihan dilakukan di tempat lain. Maka kembali lagi, apakah sekolah tersebut layak menyimpan medali olimpiade anak tersebut? Ya jelas tidak. Rayakan saja secukupnya menunjukkan kebanggaan. Bahkan sekolah saya dulu memiliki kebiasaan menjemput anak didiknya yang pulang dari olimpiade internasional dengan menunggu anak tersebut di terminal kedatangan Sukarno-Hatta. Ya, tidak apa sih. Senang juga kan. Tapi dalam usia sekarang, saya lebih melihat itu sebagai tanda ucapan “dah ya mainnya, ayo pulang belajar lagi, mau UAN.”

Ya sama saja, jika suatu saat institusi di Indonesia memiliki pekerja yang meraih nobel, maka rayakan seperti jika seorang pekerja mendapatkan hadiah piala citra kalau dia seorang aktor. Ya, bangga, but it is not yours to claim, karena memang ini hadiah individu. Prestasi orang tersebut juga tidak serta-merta merefleksikan kualitas organisasi tersebut. Cukup mengatakan semacam kalimat begini “kami bangga ada orang dari universitas di Indonesia bisa mendapatkan hadiah nobel”.

Lho? Apa bedanya dengan prestasi olah raga yang bisa diklaim sebagai prestasi untuk negara seperti badminton, sepak bola, dll? Ya pertama-tama karena ini hadiah individual dan bukan organisasi (kecuali hadiah nobel perdamaian). Dan itulah makanya saya tulis di atas perihal posisi penelitian dilakukan dan posisi hadiah diberikan. Dalam olah raga, tindakan dan pemberian hadiah itu tempatnya sama. Maka wajar jika organisasi terlibat juga merasakan dampaknya. Dalam sains, tindakan penelitian dan pengakuan hadiah itu bisa terbentang waktu dan jarak yang jauh sekali. Orangnya bisa jadi ditolak tenure nya di tempat penelitian yang penting itu terjadi dan terpaksa dia pindah ke organisasi lain. Lalu saat dia sudah pensiun dan terima hadiah nobel kok tiba-tiba yang senang organisasi yang tolak tenur nya dia? Kan aneh. Yang lebih aneh lagi jika yang klaim kemenangan itu adalah organisasi yang baru menerima orang tersebut dan seperti tertimpa buah jatuh saja.

Akhirnya, sebagai peneliti ya boleh bermimpi suatu saat dapat hadiah nobel, suatu saat hadiah ini bisa dipersembahan ke keluarga, institusi, negara, apapun. Tapi setelah itu ya kembali biasa lagi bekerja seperti sebelumnya. Yang berbeda mungkin sekarang anda pusing ini uangnya mau diapain. Disumbang jadi pusat penelitian kah? dipakai sendiri kah? Apapun, enjoy saja, itu kerja keras anda kok.

Leave a comment